Cepuraya.id, Blora – Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, sebenarnya pernah bercita-cita naik kelas, menjadi Kota Administratif (Kotatif). Ketika itu, Bupati Blora dijabat oleh H Soekardi Hardjoprawiro periode tahun 1989-1999.
Usulan Kota Administratif (cikal bakal Pemerintah Kota) digaungkan oleh Pemerintah Pusat di Jakarta tahun 1997 silam. Yang diusulkan ketika itu, Kota Batu (sebelumnya ikut Kabupaten Malang), Purwokerto dan Klaten. Tetapi yang berhasil menjadi Pemerintah Kota, yaitu Batu dan Pemerintah Kota Purwokerto.
Sementara Kecamatan Cepu tidak kesampaian dan tetap menjadi bagian dari Kabupaten Blora bersama 16 kecamatan lainnya. Begitu juga dengan Klaten, juga hingga sekarang masih berstatus menjadi Kabupaten Klaten.
Padahal, ketika itu persiapan sudah cukup matang. Di antaranya dibangun calon Kantor Kota Administratif berada di depan Hotel Mega Bintang, di Jalan Ronggolawe Cepu. Lokasinya bersebelahan dengan SDN Balun, Kelurahan Balun, Kecamatan Cepu.
Pada waktu proses naik kelas dari Kecamatan menjadi Kota Administratif, saat itu juga digelar Pemilihan Kepala Derah di Kabupaten Blora. Ketika itu pemilihan masih dengan sistem parlemen dimana bupati-wakil bupati dipilih oleh anggota DPRD tahun 1999.
Hasilnya, terpilih Bupati Blora yaitu Ir Basuki Widodo, seorang alumni ITB Bandung, putra asli Kecamatan Cepu. Sedangkan wakil bupatinya adalah RM Yudhi Sancoyo, seorang politisi Partai Golkar.
Setelah Blora punya pasangan Bupati-Wakil Bupati Basuki Widodo-RM Yudhi Sancoyo, seiring waktu, perkembangan usulan Cepu jadi Kotatif, berkurang dan kemudian hilang. Dalam dua kali periode menjabat, pasangan ini tak lagi ada kabar soal Cepu Kotatif.
Bahkan hingga Basuki Widodo meninggal dunia di tahun 2007 dan otomatis digantikan RM Yudhi Sancoyo sebagai Bupati Blora, tidak terdengar lagi dan tidak ada keterangan kembali soal perencanaan Cepu Kota Administratif. Bahkan plang besar yang terpasang di gedung untuk persiapan Cepu Kota Adminstratif, juga sudah tidak ada.
Tetapi sebenarnya, jauh-jauh hari, Cepu adalah sebuah kota kecil yang punya status kota mentereng. Yaitu Kawedanan Cepu, sebuah status administratif pemerintahan yang berada di bawah kabupaten tetapi berada satu tingkat di atas kecamatan. Ketika itu, Kawedanan Cepu membawahi Sambong dan Kedungtuban.
Dalam status pemerintahan, kawedanan adalah bentuk bahasa Jawa dari kata “ke-wedana-an”. Pada masa Hindia Belanda dan beberapa tahun setelah kemerdekaan Indonesia, kawedanan pernah berlaku di beberapa provinsi, seperti Jawa Barat dan Jawa Timur. Pemangku jabatan wilayah kawedanan adalah Wedana.
Sedangkan rumah Wedana, lokasinya di sebelah Selatan Kantor Koramil Cepu dan Kantor Polsek Cepu tepatnya di Jalan Diponegoro, Kota Cepu. Seorang Wedana Cepu bernama Mbah Pardan tahun 1970-an. Usai pensiun beliau bersama istrinya pindah dan menetap ke Rembang hingga akhir hayatnya.
Sebenarnya, masih banyak yang digali tentang keberadaan dan potensi Cepu untuk bisa naik kelas. Setidaknya menjadi Kota Cepu yang tentu saja secara administratif lepas dari Kabupaten Blora.
Tapi, pendapat banyak orang, usulan untuk memisahkan diri, sebagai hal yang grusa-grusu dan tidak tertata dengan baik. Usulan itu pernah kembali menggema tahun 1990-an. Tapi seiring dengan waktu, lenyap lagi.
Yang menarik, dengan munculnya konsep Cepu Raya, yang digulirkan justru oleh Bupati Blora Arief Rohman, tiba-tiba saja mengingatkan masa lampau, di mana Cepu pernah diusulkan menjadi Kota Administratif.
Bagi kami, sebagai warga dan rakyat Cepu, apapun usulan itu, apakah itu Kota Administratif atau Cepu Raya, tidak ada masalah. Yang penting masyarakat itu bisa hidup tenang. Ekonomi cukup, ketentramaan terjaga, sandang pangan murah dan sebagainya.
Apalah artinya, jika status kota berubah tetapi kehidupan biasa saja. Kecuali misalnya status kota berubah, dan rakyatnya dijamin kebutuhan pokoknya. UMR-nya naik berlipat dan sebagainya. Bagi kami, biarlah Cepu seperti ini saja. Kota yang inspiratif, dan kota yang banyak melahirkan para tokoh tersohor di negeri ini.
Respon (1)