Cpuraya.id, Blora – Perjalanan sejarah Jawa Barat sebagai salah satu provinsi penting di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari sosok Soetardjo Kartohadikoesoemo, yang menjadi gubernur pertama provinsi ini.
Namun ada sebuah fakta menarik yang patut diperhatikan. Sebab meskipun menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat, namun Soetardjo berkantor di Jakarta.
Perjalanan hidupnya tidak hanya membentuk sejarah Jawa Barat saja.
Namun juga mencerminkan dinamika politik dan sosial Indonesia pada masa kolonial hingga kemerdekaan. Soetardjo Kartohadikoesoemo, yang lahir pada 22 Oktober 1892 di Desa Kunduran, Blora, Jawa Tengah, berasal dari keluarga birokrat.
Ayahnya, Kartoredjo, adalah Wedana di Bancar, Kabupaten Tuban. Meskipun lahir dan besar di Jawa Tengah, jalan hidup Soetardjo membawanya jauh melampaui batas-batas wilayah asalnya, hingga ia menjadi tokoh yang sangat berpengaruh di Jawa Barat.
Pendidikan awal Soetardjo di Europeesche Lagere School (ELS) dan kemudian di Opleiding School voor Indlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Magelang, menyiapkan dirinya untuk memasuki birokrasi kolonial.
Kariernya dimulai sebagai hulpschriver di Rembang pada tahun 1911, sebuah titik awal yang kemudian berkembang pesat. Kemudian menjadi jaksa dan akhirnya melanjutkan pendidikan di Bestuurschool di Batavia, di mana ia juga terlibat dalam jurnalistik dan mulai menunjukkan ketertarikannya pada isu-isu sosial.
Salah satu kontribusi penting Soetardjo adalah Petisi Soetardjo yang diajukannya pada 1936 kepada Ratu Wilhelmina dan parlemen Belanda, Staten Generaal. Petisi ini muncul sebagai respons atas kebijakan diskriminatif Gubernur Jenderal De Jonge dan mencerminkan ketidakpuasan rakyat pribumi terhadap pemerintah kolonial.
Meskipun petisi ini ditolak oleh pemerintah Belanda dengan alasan bahwa rakyat Hindia Belanda belum siap untuk pemerintahan sendiri, tindakan Soetardjo tersebut menunjukkan keberaniannya dalam memperjuangkan keadilan.
Setelah masa pendudukan Jepang pada tahun 1942, peran Soetardjo semakin terlihat jelas ketika ia diangkat menjadi residen (syucokan) Jakarta.
Meskipun posisi Soetardjo ini membuatnya lebih terlibat di wilayah Jakarta, namun kebijakannya memiliki dampak signifikan di sejumlah wilayah keresidenan. Yakni meliputi Karawang, Cikampek, Sukamandi, Tangerang, dan Purwakarta (daerah-daerah yang dikenal sebagai lumbung padi).
Kebijakan politik beras yang diterapkan Soetardjo mengatur distribusi pangan agar tidak sepenuhnya dikuasai oleh pedagang Tionghoa. Ia ingin lebih diarahkan untuk kepentingan penduduk lokal.
Di masa kepemimpinan Soetardjo, tanah-tanah partikelir dikembalikan kepada rakyat, selanjutnya dimanfaatkan secara optimal untuk produksi pangan.
Soetardjo juga memprakarsai gerakan menanam padi berlarik dan membersihkan sawah dengan bantuan ahli pertanian Jepang dan local. Gerakan ini berhasil memenuhi kebutuhan pangan rakyat dan pasukan Jepang pada masa sulit tersebut.
Namun kontribusi terbesar Soetardjo bagi Jawa Barat mungkin tidak terletak pada satu kebijakan tertentu, melainkan pada semangat dan keteguhannya dalam menghadapi tantangan-tantangan besar pada masa kolonial hingga masa pendudukan Jepang.
Sosoknya yang moderat namun progresif, membuat Soetardjo dihormati di kalangan Pamong Praja Bumiputra. Dan meskipun ia tidak dilahirkan di Jawa Barat, kepemimpinannya di provinsi ini menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah perjalanan daerah tersebut.
Perjalanan sejarah Jawa Barat tidak hanya diwarnai oleh peristiwa-peristiwa besar, tetapi juga oleh sosok-sosok seperti Soetardjo yang berdiri di tengah-tengah perubahan zaman.
Melalui langkah-langkah strategis dan kebijakan-kebijakan Soetardjo, ia ikut membentuk arah perkembangan provinsi ini dalam menghadapi masa-masa sulit, dan warisannya tetap terasa hingga kini.